Part
2 : Bunga Sembunyi Dusta
“Joni
Sayaang! Bangun! Mereka udah pada dateng!”
Dengan
menguap lebar sambil membalik badan ke arah belakang kursi aku meregangkan
otot-ototku. Seluruh tubuhku masih sedikit ngilu. Tapi suara Mbak Santi
membuatku benar-benar terjaga. Aku sadar bahwa suara kali ini berbeda dengan 2
malam sebelumnya. Yah, dua malam yang meletihkan, tapi juga benar-benar
membutakanku dengan candunya. Angan dan nikmat bersatu padu menjadi kenyamanan
yang sulit dibedakan antara nyata dan tidur. Mbak Santi sukses membuatku jadi
penggila seks. Efek samping dari percintaan dan rasa kasih sayang kami,
menghasilkan nafsu yang menggebu-gebu. Aku masih sering kesusahan mengontrol
itu. Di manapun dan kapanpun setiap ada kesempatan, aku curi-curi sekedar
meremas bokong atau payudara Mbak Santi. Hal itu membuatnya mengeluh dan
mendelik ke arahku. Tatapan tajam itu bukan berarti marah, tapi maknanya:
“Hajar aku habis-habisan nanti malam!”.
Aku
menyiagakan tubuhku dan kusempatkan memandang Mbak Santi, Mbak Santiku sayang.
Ia terlihat sedikit cemas. Alis dan dahinya mengrenyit tipis, hingga kemudian
ia berikan senyuman tipis pula. Aku tau itu artinya: Syukurlah engkau baik-baik
saja. Kugenggam jemari halus mahasiswi akhwat syar’i ini. Ia balas menggenggam
tanganku dengan tangan lainya. Kami berpandangan dan tersenyum bersama. Adalah
hari-hari yang indah jika kami lalui dangan saat-saat seperti ini. Seolah ini
adalah ranjang super empuk dengan sprei sutra yang berkilauan, di mana kami
nggak akan pernah terbujuk untuk beranjak terpisah satu sama lain di sini.
Nyaman dan membahagiakan. Begitu menghanyutkan, sampai-sampai mulutku nyosor
aja ke arah Mbak Santi.
“
EHHEM!!!”
Seseorang
berdehem keras, menjengkelkan, jelas disengaja. Kulepas genggaman tangaku, dan
kami langsung berjauhan. Kulihat Mbak Santi sedikit merapikan hijabnya. Dia
tersenyum singkat kemudian pergi menjauh dan duduk di kursi agak di depan,
karena ia senior di sini. Kucari-cari orang yang berdehem memuakkan itu.
Kulihat di pojok kanan ruangan ini, seorang akhwat berjilbab terlihat
memandangku dengan tatapan tidak suka. Akupun balik memelototinya. Ia salah
tingkah, hingga kemudian meluncur duduk di kursinya beberapa petak di depanku
agak ke kiri sedikit. Hal itu dapat membuatku tetap dapat mengawasi matanya
yang terbingkai kacamata itu. Kalau aku mau, aku bisa saja memperkarakanya.
Tapi sayang, rapatnya akan segera dimulai.
Aku
tahu kenapa ia ada di sini. Gadis itu namanya Sylvia, Sylvia Pratami tepatnya.
Iya juniorku setingkat. Ia dan kroni-kroni di dekatnya itu adalah anggota UKM
Sastra yang sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sastra di kampus
kami seperti pembahasan karya sastra, pembacaan dan musikalisasi puisi, sampai
pentas teater. Melihat lambang di jas seragam yang mereka kenakan, sekilas
kibasan rambut Fia terlintas menyapu otakku. Fia dulu adalah orang yang paling
mencintai UKM ini. Senyum teh dalam pocinya dan puisi-puisi magis itu
menangguhkan kebanggaanya kepada organisasi itu. Seringkali kami duduk
berhadapan di sore hari, dengan dua gelas Lemon Tea dingin di atas meja kami.
Mata kami saling curi waktu untuk beradu, silih berganti dengan derus nafas
manjanya ketika membacakan puisi-puisi keluaran UKM Sastra. Fia mengakhirinya
dengan cemberut masam, karena aku tak memuaskanya dengan tanggapan menarik.
Namun cemberutnya tak lama-lama, ia hilang setelah kucubit hidungnya yang nggak
terlalu mancung itu. Manis...
Ahh...
sudahlah! Fia is no longer mine. Lagipula, yang datang di ruang rapat kali ini
bukan Fia, melainkan para pengurus baru yang belum terlalu kukenal. Mereka
hadir dalam rapat ini untuk mempertanggung jawabkan laporan hasil kegiatan
organisasinya pada akhir tahun. Bukan hanya kelompok mereka, tetapi juga
UKM-UKM dan perwakilan organisasi mahasiswa yang lain. Pertanggung jawaban ini
juga menentukan masa depan kelanjutan organisasi untuk setahun yang akan
datang. Daftar rencana kegiatanya, sistim kepengurusanya, peralatanya,
pendanaanya, whatever lah... Aku sebenarnya tidak terlalu peduli pada itu
semua. Dalam rapat hari ini aku hanya bertindak untuk menyiapkan tempat dan
susunan acaranya. Itulah kenapa aku sempat tertidur tadi, karena aku hadir jauh
lebih dulu dari mereka semua. Yahh, kalau nggak habis menggenjot Mbak Santi
habis-habisan semalem sih kagak bakalan tumbang juga aku. Maka dari itu niatku
dalam rapat ini untuk tidak melakukan apapun. Just stay cool and watch.
Ruangan
rapat ini cukup luas. Tempat duduk para pemimpin rapat berada di depan
menghadap kami, dan peserta rapat duduk di kursi yang tertata seperti audiens
pertunjukan opera Eropa. Aku duduk di barisan paling belakang pojok kanan.
Meskipun banyak yang hadir dalam rapat kali ini, tapi nyatanya tidak ada yang
duduk di barisan belakang selain aku. Yess! Mendukung sekali untuk bersikap
acuh di belakang sini. Kukeluarkan hapeku dan kuposisikan di dalam laci.
Connect wifi kampus, gas online medsos sampe jebot. Maklum, mahasiswa kere
miskin kuota.
Aku
sempat mendongak menyimak laporan Mbak Santi soal pentas Wayang minggu lalu.
Mengingatkanku pada hari pertama kami yang luar biasa. Tertegunlah aku melihat
Mbak Santi yang dengan wibawanya menyampaikan laporan dengan lugas dan enak
didengar. Aiih... itu Mbak Santiku yang sempurna! Bibirnya berkecap-kecap
lembut. Membuatku berkayal akan sodokan kontolku yang dahsyat ke mulutnya.
Begitu juga ketika kucermati tubuh nan ramping hingga ke pantat yang sempurna,
mengingatkanku doggystyle favorit kami yang tak akan berhenti sampai lemas.
Aduh! Kontolku menegang keras seketika. Ujungnya mentok seolah hendak mendobrak
resleting jinsku. Aku berusaha menguasai diriku. Ku alihkan pandanganku dari
tubuh Mbak Santi. Papan tulis putih, jam dinding, foto presiden, bergantian
kualihkan fokus pandanganku. Tapi tetap saja, bayangan genjotan kontol dan
tempik disertai desahan itu membuat kontol ini tetap berdiri keras.
Tak
terasa, Mbak Santi telah menyudahi laporanya dan kembali ke tempat duduknya. Ia
sempat menoleh ke arahku dan tersenyum seperti biasanya. Namun bagiku itu
artinya: Rasain lu!! Aku berusaha membenarkan letak celanaku supaya kontolku
tidak terlalu sakit. Kulihat yang menyampaikan laporan kali ini adalah
perwakilan UKM Sastra. Cowok yang duduk di depan Sylvia pun berdiri dan
memberikan laporanya. Melihat Sylvia melirikku sekilas aku bagai tersengat.
Sebuah gagasan begitu saja muncul di pikiranku. Mengingat perseteruan kami yang
tertunda tadi membuatku ingin menyerang Sylvia dan korni-kroninya dalam situasi
seperti ini. Biar dia malu dilihat banyak orang. Beruntungya, Dewan Mahasiswa
berpihak pada rencanaku.
Setelah
cowok dari UKM Sastra itu menyelesaikan laporanya, ternyata didapati banyak
rancangan kegiatan ormawa tersebut yang urung diselenggarakan. Padahal UKM
Sastra termasuk salah satu ormawa terkuat yang dihibahkan dana besar dari
kemahasiswaan untuk melakukan kegiatan-kegiatanya karena sering menorehkan
prestasi di luar kampus beberapa tahun yang lalu. Hal itu menimbulkan asumsi
bagi Dewan Mahasiswa dan mahasiswa-mahasiswa lain yang hadir bahwa UKM Sastra
telah merugikan kampus. Lebih baik dana itu untuk rancangan tahun depan dibagi
ke ormawa dan UKM yang lain. Bisik-bisik dan kasak-kusuk teman-teman mahasiswa
mebuat perwakilan UKM Sastra gusar.
“Interupsi,
Pimpinan sidang! Saya Sylvia Pratami dari UKM Sastra ingin menyampaikan
pendapat!”
Sylvia
berdiri melakukan pembelaan. Teriakanya yang nyaring memekakkan telinga dan
membuat hadirin terhenyak sesaat, hingga kemudian pecah kembali dan menjadi
sedikit gelombang keributan sebentar. Mata mereka semua pun tertuju pada tubuh
ramping mahasiswi berkacamata ini. Tetapikeributan itu tak sampai membuat
pimpinan sidang untuk mengangkat tangan dan menenangkan hadirin. Setelah
dipersilahkan oleh pimpinan sidang, Sylvia pun nyerocos saja panjang lebar bla
bla bla.
“Kami
sadar, bahwa kami tidak melakukan tugas kami dengan baik sempurna pada tahun
ini.”
Kata-kata
Sylvia membuat hadirin meneriakinya. Huuuu....
“Tetapi
kita semua perlu tahu, bahwa terhambatnya kegiatan-kegiatan yang kami jalani
adalah karena menurunya animo mahasiswa terhadap perkembangan sastra.”
Hadirin
memperhatikan. Memang sih, kampus kami terlalu sibuk dengan urusan praktek dan
teknik. Sastra adalah hal sekunder, yang belakangan mulai ditinggalkan.
“Hal
itu terjadi karena adanya golongan mahasiswa, yang bahkan hadirpula di tubuh
BEM, yang secara terang-terangan memberikan respon penolakan terhadap kegiatan
yang berbau sastra. Mereka lebih suka tontonan praktis seperti kesenian tradisi
yang kurang relevan dengan perkembangan masa kini”
Bagai
tersentup tawon, kupingku memerah terkena sentilan Sylvia. Sial! Niat mau
ngerjain malah diserang duluan.
“Pementasan
seperti kethoprak, kuda lumping, dan wayang kulit merupakan tradisi yang old
fashioned, serta berbau mistis nir logika. Tetapi ulang tahun fakultas minggu
lalu dengan bangganya mementaskan Wayang Kulit sebagai hiburan utama. Sedangkan
pada saat yang sama, UKM Sastra sedang mengadakan Bedah Buku Antologi Puisi
keluaran kampus. Hal itu membuat peserta kegiatan kami merosot drastis. Nggak
heran kegiatan kami banyak yang dibatalkan.”
Ucapan
mahasiswi berjilbab ini adalah fusi dari dua hal yang berbeda. Antara
ketidaksukaanya terhadap kesenian lokal karena dia dan kroni-kroninya terlalu
berpaham modern, atau cuma pembelaan untuk kesalahanya saja sehingga menjadikan
kami kambing hitam. Aku terpaksa berdiri dan mengacungkan tanganku.
“Interupsi,
Pimpinan Sidang, Saya Joni Saputra dari BEM Fakultas”
“Silahkan”
jawab pimpinan sidang singkat.
Hadirin
yang hanya berisi mahasiswa antartingkat seperti terdiam. Mereka segan kepadaku
karena aku sering vokal dan keras ketika menyampaikan pendapatku. Omongan
Sylvia kali ini memang agak kelepasan. Meskipun terjadi pembagian pendapat
mengenai Kesenian Tradisi di kampus ini, tetapi mereka tidak pernah
mengolok-olok satu sama lain. Tentu saja mereka geram, baik yang sepaham maupun
tidak dengan Sylvia. Aku yakin mereka sedang menunggu jurus mautku untuk
membungkam jilbab sialan yang satu ini!
“Kepada
Saudara Sylvia. Saya minta untuk tidak melakukan provokasi. Pementasan wayang
kulit adalah kesepakatan bersama jajaran pengurus ormawa. Kalau UKM Sastra
tidak dapat menerima dan mengikutinya, saya sarankan UKM Sastra mencari kampus
lain. Terima Kasih.”
Hadirin
mulai ribut dan saling berembug. Pimpinan sidang kesusahan menenangkanya.
“Interupsi,
Pimpinan Sidang!”
Sylvia
kembali berteriak. Hadirin tambah heboh. Sebagian ada yang sembrono dengan
memberikan yel-yel kepada Sylvia seperti Bakar! dan Hajar!. Suasana pun semakin
ricuh melihat permusuhan yang tercipta tiba-tiba. Tanpa menunggu pimpinan
sidang mempersilahkan, Sylvia nyelonong begitu aja.
“Saudara
Joni yang terhormat. Tahukah anda bahwa berurusan dengan hal mistis dan tak
logika adalah pembodohan yang hakiki. Wayang Kulit memang perlu dilestarikan.
Tapi kami nggak setuju itu dibuat tontonan utama di fakultas! Lagipula aku
yakin, yang paham wayang pasti nggak sampe 10% dari semua mahasiswa di kampus
ini. Ini namanya nggak adil!”
“Interupsi
pimpinan sidang!” Aku kembali berteriak. Hadirin riuh redam.
“Heh,
Sylvia! Ngerti apa soal wayang? Kamu itu belum tau udah berani main
jelek-jelekin ya. Mistis darimananya coba? Apa lu pernah liat orang kesurupan
pas nonton wayang?” Ingin ku berkata kasar, tapi ingat ini di rapat terhormat.
“Hey,
Joni! Kagak perlu kesurupan deh. Itu dalangnya ngomong apa aja aku nggak
ngerti. Dan aku yakin temen-temen yang lain juga nggak ngerti. Yang ngerti Cuma
kamu! Dasar Kuno!”
“Dasar
garis keras!!”
“Mau
apa loe??”
“Berani??”
“Siapa
takut!!”
“Sikat!!”
“Kafir!!”
“Pengecut!!”
BRAAAKKK!!!
Terlihat
Pimpinan Sidang, Sonia Octarany menggebrak meja. Hadirin yang tadinya ricuh
memenuhi ruangan terdiam seketika. Sonia meskipun cewek tapi galaknya minta
ampun. Dia kakak tingkatku dua tahun, lebih senior dari Mbak Santi. Aku pun
memilih duduk dan diam. Hal yang sama dilakukan Sylvia. Ia sempat melirikku
penuh benci.
“Saya
harap semua tenang! Waktu habis dan silahkan beristirahat. Satu jam lagi kita
berkumpul lagi. Saya minta untuk tidak ada lagi isu kebencian dan permusuhan
diantara kita, karena setelah ini kita akan mengadakan voting apakah UKM Sastra
layak mendapatkan jumlah hibah dana yang sama dengan tahun lalu atau tidak.
Terima Kasih. Rapat ditutup untuk sementara.”
......................................................................................
Mbak
Santi menyodoriku sebotol air mineral ukuran tanggung kepadaku. Kulirik matanya
sebentar dengan kuberi senyuman yang sedikit kupaksakan. Hatiku masih dongkol
maksimal karena perdebatan tadi. Apalagi melihat rombongan mereka berlalu
dengan kepala mendongak keluar dari ruangan. Rasanya meja ini ingin kuhamburkan,
terutama ke jilbab Sylvia.
“
Jonii... yang sabar dong. Inget, kamu itu udah semester jebot. Nggak guna juga
kamu marah-marah ke anak baru kayak dia. Lagipula, dia kan cuma pion. Otaknya
bahkan nggak hadir di sini. Kamu tau kan, Jon?”
Aku
menatap Mbak Santi yang mengata-kataiku dengan ekpresi teduhnya. Kuresapi
kenyamanan Mbak Santi yang selalu bikin aku optimis menjalani hidup ini. Tangan
Mbak Santi setengah memijit pundak kiriku. Sementara tangan yang lain meremas
jemariku yang berkeringat karena marah. Mbak Santi kembali menorehkan senyum
surgawinya. Amarahku perlahan memudar.
“
Aku nggak habis pikir, Mbak. Bagaimana bisa UKM Sastra memusuhin kita? Bukanya
genre kita sama? Sastra kalo diterapkan, dipentaskan, jatuhnya jadi seni juga
kan? Heran aku.” ucapku dengan masih sedikit gregetan tapi kupelankan.
“
Mbak juga nggak tau, Jon. Pasti ada kepentingan lain yang lebih serius
ketimbang cuma debat masalah mistis dan kuno. Kita cuma harus ati-ati aja
ngehadapin orang-orang kayak mereka.
“
Aneh mereka itu. Lagipula siapa sih, si Sylvia ini? Kok dia vokal banget? Jadi
pion kok ngotot banget, emangnya buat apa?” gerutuku sambil memegang kepalaku
yang sebenernya nggak bener-bener pusing ini.
“
Sylvia itu sebenernya temen kos aku..”
Aku
termenung mendapati temuan baru ini. Sylvia teman kos Mbak Santi? Aku tidak
menyangka kami semua terhubung sedekat ini.
“
Kamu nggak perlu heran. Emang karakter dia keras kayak gitu. Maklum juga.
Kasian, dia kuliah di sini cari uang sendiri buat bayar biaya hidupnya. Broken
home, ortunya gak ada yang jelas. Mungkin aja dulu dia sering dikerasin sama
bapak ibunya.”
Manggut-manggut
aku dibuatnya oleh perkataan Mbak Santi. Emang, aku nggak bisa maksain semua
harus sama kayak pemikiranku. Dunia begitu bervariasi. Dan akan lebih
menyenangkan untuk tetap menikmatinya dengan bentuk seperti itu. Sylvia mungkin
memang menjengkelkan, tapi aku tidak boleh merasa bahwa orang seperti Sylvia
perlu disingkirkan dari dunia ini.
“
Hai konde!!! Gimana kabarmu??”
HAPP...
Mbak Santi tiba-tiba meremas selangkanganku sambil tersenyum menggodaku. Sontak
kontolku menegang dan harus berjuang keras karena terhalang cd dan celana jeans
ku. Bukanya berhenti, Mbak Santi malah menggerakkan remasanya. Gila! Di ruangan
ini masih ada satu dua orang berkemas dan belum pergi.
“Eiiits!
Cepet bangunya? Laper ya? Pengen memek?” bisik Mbak Santi pelan-pelan.
“M..mmm..Mbak..
Itu.. itu nanti diliat orang...” ucapku terbata-bata.
Mbak
Santi melotot sejenak kemudian menoleh ke orang-orang itu. Kemudian ia tertawa
mengejeku sambil melepas remasanya. Fiuuh... lega rasanya, meskipun kontolku
masih ngaceng. Kesemprulan Mbak Santi ketika menjahiliku masih sama sejak dulu.
Tapi kali ini rasanya lebih berat, karena urusan kontol. Ini berat, biar aku
saja.
“Sabar
yaah sayaangku... Nanti malam habis kelar ini semua, kamu boleh genjot tempik
ini sepuasnyah...” Mbak Santi kembali berbisik, dengan desahan menggoda,
spesial pake telur.
“Aku
keluar dulu ya Jon! Soalnya ada meeting intern panitia yang wayangan kemarin.
Kamu nggak usah ikut, cuma soal duit kok. Lagipula kamu masih capek kan? Simpan
dulu buat nanti malam...hihihi” tawa Mbak Santi menakutkan.
Bebarengan
dengan tawa yang menggoda itu, Mbak Santi meninggalkanku keluar dari ruang
rapat nan luas ini. Dan kini terlihat begitu sunyi karena orang-orang yang tadi
di dalam juga baru saja keluar. Pintu menuju keluar ada di pojok kiri bagian
depan audiens, itu berarti berseberangan denganku. Membuatku merasa aman untuk
melakukan apapun di sini. Kenapa aku mengatakan itu?
Karena
kontolku sedang ngaceng maksimal! Gila emang Mbak Santi. Nggak tau situasi aja.
Aku perlu pelampiasan. Kuambil hape ku, kembali kusautkan wi fi kampus. Jempol
dan telunjukku mulai mengggeser-geser layar hapeku. Browsing bokep, cerita sex,
komik hentai, atau video porno streaming gratisan. Apapun itu. Kepalaku mulai
mendidih. Badanku memanas. Kontolku mulai tambah ngaceng. Porno Jepang,
selingkuh sama kakek, digangbang di bus kota, bukkake puluhan pria. Ahh,,,
kurang mantaab... terus kucari-dan kucari. Mataku melototi layar. Terpaku nyala
layar yang menghipnotis.
“
Kak...”
Busseeet!!!
Saus Tartar!! Andai saja aku tidak rajin jogging pagi hari aku sudah terbujur
kaku karena habis jantungku. Cepat-cepat kusembunyikan hape ku ke dalam laci.
Kucoba melihat dengan was-was siapa yang memanggilku. Kulihat pintu telah
tertutup. Dan di dekat meja barisan depanku berdiri seorang cewek. Nafasku
masih terengah-engah sisa kengacengan bercampur kekagetanku. Sambil memfokuskan
pandanganku yang sempat kabur,aku mulai mengenali orang ini. Sylvia, si jilbab
sialan!
“Kamu!
Ngapain kamu? Mau nerusin debat?” amarahku seketika timbul. Hilang sudah rumus
perenungan kehidupan tadi. Sylvia tetap balik jadi musuh lagi.
“Nggak
perlu ngegas gitu dong! Gua ngomong baik-baik nih!!!” saut Sylvia ngotot dengan
logat jakartaan yang kental.
“Eh
elu juga yang ngegas kali... Dasar, ngapain? Ada apa?” sahutku ketus.
Sylvia
maju mendekatiku. Tatapanya yang tadi agak menengang, kini berubah agak sendu.
Dengan satu tarikan nafas yang agak dalam, ia duduk di sebelahku. Aku reflek
agak menggeser kursiku mejauhinya.
“Maafin
gue ya kak... Gue suka kelepasan kalo emosi.” Katanya tapi tetap dengan nada
ketus.
“Gue
mau minta tolong, kak. Entar kan ada voting tuh. Secara elu tadi udah
marah-marah yang bikin UKM gue terpojok. Orang-orang pasti pada ngikutin elu.”
kali ini Sylvia memperlambat pengucapanya. Dia mengalihkan pandanganya sejenak
sambil membetulkan letak kacamatanya. Sepertinya dia berusaha membujukku. Heran
aja, sifatnya bisa berbalik 180 derajat begini ya?
“
Gue tau, elu orang berpengaruh di kampus, kak. So dengan pengaruh lu, gua yakin
hasil voting tergantung sama pendapat elu. Gua minta elu tolong kita, biar UKM
Sastra tetep dapet hibah itu. Pliss kak...”
Kini
dia merengek-rengek memohon kepadaku dengan tangan mengatup. Ia kini berubah.
Dari Sylvia Pratami yang keras dan vokal, sekarang jadi cewek jilbab yang
pasrah dan nelangsa. Aku tergelitik karenanya. Ini seperti aku mendapatkan
kemenangan gratiskarena gol bunuh diri.
“Kenapa
gue musti lakuin itu, hah?” jawabku jual mahal.
“Pliss
kak, kita semua satu kampus. Satu jatoh, yang lain juga jatoh”
Sylvia
lebih merengek dibanding yang tadi. Tapi tatapan garangnya masih sedikit nampak
di sudut matanya. Hmm, unik, tapi jadi indah kombinasinya. Ada kelembutan yang
bersemayam dalam deru garang kekerasan. Tapi di sisi lain, terlintas juga
gambaran Sylvia yang bitchy. Memohon dan merengek-rengek, seperti lonthe minta
dientot.
“Ngapain
sih, elu musti belain UKM lu yang mati suri itu? Ngerti apa kamu soal sastra?
“Gue
nggak tau apapun soal sastra. Apapun itu gua lakuin, asal gua bisa makan.”
Jawabanya
membuatku terkejut juga, meskipun aku sudah tau ini dari Mbak Santi. Namun itu
berarti ia melakukan ini karena bayaran?
“Sylvia...Sylvia...
Aku nggak nyangka. Kukira kamu itu cewek keras kepala. Ternyata? Lu ngelakuin
ini karena bayaran. Apa bedanya sama pelacur?” tanyaku sambil mengejeknya.
“Lu
jangan kurang ajar! Gini-gini gua juga punya harga diri!” Sylvia mulai
melonjak.
“Harga
diri apaan? Harga diri lu itu udah disetir sama yang bayar elu...”
“Terserah
apa kata lu, yang penting gua tetep idup.”
“Elu
pelacur!”
“Bukan!”
“Elu
lonthe!”
“Ngaak!!”
“Sekali
lonthe ya tetep lonthe!!!”
PLAAAK!!!!
Anjriiiit!!!
Jilbab sialan ini menampar pipiku. Panas sekali... Amarahku langsung membuncah.
Mendidih sampe ke ubun-ubun. Tanpa ampun kudorong Sylvia keras-keras. Sylvia
terjengkang ke belakang. Ia hendak berteriak kalo saja tanganku tidak segera
membekapnya. Percampuran amarahku ternyata bercampur sisa kengacenganku yang
belum reda tadi. Kurasakan nafas jilbab sialan ini memburu. Telapak tanganku
bergetar karena suara teriakanya.
“MMMMPPPPHHH...
mmmppphhh....” gumamnya tak jelas.
Aku
seperti kerasukan. Tanganku bergerak sendiri, bukan karena dituntun setan, tapi
karena otakku dikendalikan nafsu. Kuremas kencang payudara Sylvia sampai dia
menjerit dalam dekapanku. Owwwh... Meskipun tubuhnya terlihat ramping, tapi
payudaranya mantaap jiwaa. Kuremas sekali lagi, Sylvia menjerit. Ukuranya
sedikit lebih besar dari punya Mbak Santi, tetapi jauh lebih kencang. Kurasakan
putingya mengeras mengacung. Aku juga sedikit memilin-milinya. Sementara
tangan-tangan dan kaki Sylvia terus meronta-ronta, siku dan kakiku kugunakan
untuk menahanya. Karena capek, kulepas dekapan tanganku di mulutnya untuk ikut
mengatasi rontaanya.
“
Aaah.... Haaah.. Tol...ommppph” aku kembali menyumpal bibir tipis Sylvia, kali
ini dengan lumatan ganas. Lidahku langsung menerobos membelit lidah Sylvia.
Sylvia hanya beberapa detika hendak memberontak, tapi akhirnya dia meladeni
kulumanku juga. Dasar lonte. Kurasakan rontaan kaki-tangan Sylvia juga
mengendur. Kedua tanganku fokus merangsang payudara dan pentilnya. Sylvia
semakin terangsang. Ia mulai lebih mengendalikan permainan ciuman kami.
Nafasnya menderu-deru. Ciumanya sangat ngotot dan bernafsu sampe desahan yang
tercipta karena bibir kami sempat saling terlepas sesaat sangat jelas terasa.
Semakin kupercepat remasan payudaranya, Sylvia semakin ngegas. Berciuman dengan
Sylvia rasanya seperti makan Ayam geprek lombok 25! Hot,, keraas!! Inilah jiwa
Sylvia yang sebenarnya. Keras dan gahar!
Tanganku
yang satu kuarahkan untuk menelusup di balik celana dan cd nya. Setelah membuka
resleting celananya, kutemukan jembut yang tercukur rapi. Langsung saja kukobel
tempik jilbab sialan ini. Sylvia tersentak dan menggelinjang kencang seperti
dicincang. Ia sempat melepaskan ciuman kami dan mengeluh keras. Aku sampe
khawatir kalau-kalau ada yang lewat. Kembali saja ku lumat habis-habisan mulut
yang tadi memperolokku ini. Kuteruskan pula mengobel tempik berjembut tipis
ini. Setiap kusentil dan ku kobok-kobok itilnya, Sylvia menjadi kesetanan dan
berusaha melenguhkan ekpresinya keras-keras. Tubuhnya menggeliat seperti
cacing. Dan setiap ku sudookan jari ku, Sylvia tersentak hebat.
Sementara
itu beberapa kancing kemejanya juga telah kutanggalkan. Begitu juga bra polos
warna hitamnya pula kuturunkan sedikit. Terpampanglah dua susu montok sempurna
milik Sylvia Pratami. Tanganku mencoba meraba dan meremasnya... Mpph,,,
mantap... Halus, padat, dan kencang. Kelas bro!!. Aku melepaskan ciumanku.
Desahan Sylvia pun kini terdengar keras. Kuisyaratkan jari ke mulutku. Entah
dia mengerti atau tidak, tapi dia berusaha keras untuk menahan desahanya.
Sementara mulutku langsung menyosor dua gunung indah perfect ini bergantian.
Kujilati, kuemut putingnya, membuat Sylvia benar-benar pasrah menikmatinya.
“Anjiiing!!!
Enaaak bangeethhh...ehhhh...haaah” desah Sylvia tertahan. Di saat bercinta
sepeerti ini pun, jiwa kasar Sylvia tetap muncul.
“Anjiing?
Siapa yang anjing?” tanyaku menggoda sambil terus mengobel tempiknya.
“Kamu,,
Joni... Ahhh,,, Kamu Anjiing!!!”
“Kalo
aku anjing, berarti kamu lonthe murahan dong. Mau dientot anjing...”
“Ahhh...
Bukaaaanhh... gue... gue bukaan loon... AHHHH!!!”
Sylvia
berteriak agak keras. Jilbab sialan ini telah orgasme karena kobelanku. Ia
mengejang-ngejang dahsyat. Dari tempiknya kurasakan cairan banjir membasahi
tanganku. Lumayan dahsyat juga orgasme Sylvia. Setelah beberapa kali semprotan
aku melepaskan tanganku dari tempiknya. Kucium baunya, aneh. Kayak, apa ya?
Aneh lah pokoknya.
“Aku
nggak suka baunya, lu aja deh yang bersihin, tanggung jawab!” kataku sambil
mecokolkan jariku ke mulut Sylvia yang tengah terbuka. Sylvia yang baru saja
melepas nafas kelelahan itu sempat terkaget karena dicokoli tangan berlumuran
cairan kewanitaanya sendiri. Tapi toh akhirnya setelah gua maju mundurin,
Sylvia sendiri yang mengemut dan mejilati tanganku sampe bersih. Setelah dirasa
bersih pun aku segera menariknya keluar. Sambil kulapkan tanganku ke jilbab
Sylvia, dia menatapku marah. Tapi tubuhnya masih tergeletak lemas. Daya tahanya
tidak sekuat Mbak Santi kelihatanya.
“Haah...haah.
Bangsat lu! Lu bangsat anjing nggak tau diri!” Sylvia masih sempat mengutukiku.
Aku
tergerak dengan kata-kata kasarnya. Aku berdiri dan melorotkan celana dan cd
ku. Kontol andalanku pun mengacung tegak bagai Monas. Aku bersimpuh di dekat
kepala Sylvia. Kontolku mengangguk-angguk menampar pipi dan hidungnya.
“Eh,
lu itu akhwat alim berjilbab. Nggak boleh ah ngomong kasar begitu. Nih,sebagai
lonte yang baik, kontol anjing ini diservis dulu deeh...”
Sylvia
yang masih tebengong pun dibuat gelagapan karna ada turbo kontol besar yang
meluncur deras menyesaki mulut mungilnya. Uuuuh... Mantap. Setelah kutekan
dalam-dalam ternyata belum sampe pangkal kontolku. Dengan perlahan mulai
kugenjot mulut akhwat berjilbab ini dengan kontol jumbo.
“Uuuh..
OOOh... Sylviaaah... Ruaar biasaah. Mulut kamu adhem-adhem nikmaaat... Uuhhh...
mantep tenaan...” Racauku.
Sylvia
mendelik tajam. Kurasakan kontolku bergetar karena suara teriakan Sylvia yang
tertahan Kontol besarku. Tanganya berusaha menjauhkan selangkanganku. Tapi
tentu saja aku tidak membiarkanya. Kupegangi kepala berjilbab Sylvia, dan mulai
kugenjot cepat dan penuh tenaga. Bunyi yang dihasilkan sudah mirip persetubuhan
tempik. Clep clep clep.... Sementara Sylvia terdengar mendesah di dalam
seponganya. Ia kini tidak lagi berteriak meronta, tapi juga memainkan lidahnya
memilin kontolku. Ahhh.... hangat sekalii. Air liur Sylvia telah mebuatku
melayang. Karena capek menggenjot, aku melepas kontolku dari kulumanya.
“MMM...Mpppaaah...ahhha...ahhh.”
nafas Sylvia seperti habis tercekik saja.
Kubangunkan
tubuhnya dengan tetap terduduk, kusenderkan ke tembok.
“Hahhh...hahhh...Jonii...
lu bajingaan... lu bangsaat. Luu aaann...Ammpppph”
Belum
sempat dia selesai mengumpat mulutnya kembali kusumpal kontol besarku.
“Hhhhgg...hmmppph..hmppph”
bunyi desahan Sylvia setiap kali ku genjot.
Setiap
genjotan kini ku tekankan sampai mentok dan kutahan sebentar. Aku ingin
merasakan deepthroat musuh berjilbabku ini. Bagaimana mulut tajamnya yang tadi
telah berkata-kata lantang kini tengah terbungkam kontol musuhnya. Setiap
genjotan kontolku ke mulutnya adalah setiap letupan amarahku ketika mendengar
kata-katanya di rapat tadi. Semakin marah karna parah kata2nya, maka akan
semakin keras ku menggenjot mulut akhwat berjilbab ini.
Kutatap
wajah musuhku yang sedang kusetubuhi mulutnya ini. Sebenernya dia cantik juga.
Hatiku yang dipenuhi amarah membutakanku akan kecantikanya. Kulihat kini
tanganya sudah tidak meronta, tetapi memegang pinggulku. Sesekali membetulkan
letak kacamatanya. Entahlah, cewek ini sebenernya, ciptaan Tuhan yang indah
hakiki. Kubelai alis sampe dagunya. Kulit putih khas ibukota ini adalah karunia
yang harus disyukuri dan dinikmati. Maka timbulah rasa gemes ku melihat
kecantikan akhwat berjilbab musuhku ini. Kupegang kembali kepala berjilbabnya,
dan maju mundurkan dengan keras. Hlep..hlep...hleep...
Kulihat
semakin lama Sylvia semakin kewalahan. Nafasnya benear-benar terhambat. Karena
dari tadiaku belum memberinya kesempatan menghidup udara. Kontol besarku terus
tertanam menghajar mulut kurang ajar jilbab sialan ini. Tapi lama kelamaan aku
merasa kasihan juga. Sayang kalo wajah secantik ini habis dihajar kontol.
Kucabut kontolku dari mulut Sylvia.
Sylvia
langsung terengah-engah begitu kontol besar ku terlepas. Mahasiswi berjilbab
ini tampak kepayahan. Maklum saja, mulutnya habis dihajar kontol besar. Aku
mengangkat tubuhnya. Kutelungkupkan badanya di atas meja, sementara dua kakinya
masih menapak ke lantai dengan pantat yang menungging. Aku melepas semua celana
dan cd nya. Dan bersiap menempelkan palkonku ke gerbang tempik Sylvia.
“Ashh....
Mau ngapain lu, Anjing?”
“Mau
ngentotin lonte, boleh kan te?”
“Argghh,,,
nggak, jangan entot gue, gue... AAAAAGGGGGHHH!!!!”
BLESSS!!!
Kontol besarku langsung melesak masuk menembus lubang sempit milik Sylvia.
Akhwat berjilbab keras kepala ini rupanya sudah nggak perawan juga... Hmmm...
Tetep enak aja nih. Sempit, kenceng, berdenyut-denyut dindingnya. Kontolku
rasanya seperti diremas dinding nikmat yang empuk dan kencang.
“Eh,
Syl...lu rupanya lonte beneran ya? Udah longgar begini. Pasti udah sering
dientot.” Kataku sambil mulai memaju mundurkan kontolku menohok tubuh Sylvia
dari belakang.
“
Bangsaat kamuuh... Nggak akan gue maafin...ahhh..ahha...ahhh” desah Sylvia
meracau tak jelas.
Aku
pun mulai meresapi setiap sodokan kontol besarku yang mengakibatkan tubuh
ramping Sylvia terguncang-guncang. Jleb jleb jleb bles bles bles.... Begitu
intens ku setubuhi orang yang paling kubenci ini. Satu jam yang lalu lidahnya
tajam menguliti harga diriku, sekarang dia telah pasrah disetubuhi dari
belakang oleh kontol besarku. Genjotanku semakin cepat seperti orang berlari
marathon. Aku benar-benar ingin menghajar tubuh akhwat yang paling kubenci ini.
Aku ingin buat dia menderita, menderita karena tusukan kontol besarku.
“Hemmm...
oooh.... enaaak. Enaak tenaan... Tempikmu enaak banget Sylviaaa... Ohhh..
manteep... tak kontoli kamu Sylviaku... lonthekuu...” racauku cepat.
Rupanya
Sylvia bukan tipe cewek yang mengeluarkan kata-kata porno ketika dientot. Dia
hanya mendesah-desah sambil sesekali mengumpat kecil.
“Ooooh...oooh....aaah...
fuck yeaah.... eemmhh..” begitu racau Sylvia.
Aku
pun memutar kontolku seperti mengaduk vagina sempitnya. Ini adalah jurus
favoritku ketika berada dalam mode doggystyle. Tentu saja Sylvia menggejang
nikmat. Mulutnya terkatup dan ia menggerap setiap kontolku menggerus-gerus
bagian terdalam tempiknya. Setelah kemudian menghujam keras lagi, Sylvia
kembali mendesah.
“Oooh,,,
Ayo Sylviaaah... Sylvia Pratami... Kamu seneng nggak tak entotin? Ahhh”
“Aahhh,,,
nggak,,, ng,,,nggak,, aku nggak boleeeh,,, ahhh” racau Sylvia berusaha menolak
kenikmatan yang dirasakanya.
Akupun
menghentikan genjotanku tiba-tiba dan mencabutnya dari tempik Sylvia. Aku ingin
buat dia jadi pelacur rendahan. Ketika kontolku tercabut, pantatnya sempat
bergoyong-goyang sebentar. Setelah itu dia pun tampak bingung menoleh ke
belakang.
“Kenapa
Syl? Ada apa?” tanyaku
“Itu...”
“Itu
apa?”
“Kontool.....”
“Lho
katanya nggak mau tadi?”
“Assshh...
aku mau kontoolmu... Joniii bangsaat!”
Setelah
mengatakan itu ia bangkit menubrukku sehingga aku terduduk di kursiku semula.
Di langsung naik ke pangkuanku dang langsung menjebloskan kontolku ke dalam
tempiknya. BLESSS.... begitu dalam kontolku masuk ke dalam rahim Sylvia.
Kuresapi pelukan tempik Sylvia yang menghangatkan kontolku. Perlahan setelah
medesis panjang, Sylvia pun menaik turunkan pantatnya. Ia menggenjotnya mulai
perlahan hingga semakin cepat. Setiap genjotanya disertai desahan pendek yang
menggoda.
Kulihat
kepalanya selalu mendongak. Matanya pun terpejam atau dialihkan ke
tembok-tembok. Aku meraih pipinya dan membuatnya menghadapku. Awalnya ia
menolak, tapi akhirnya di mau juga. Sambil terus bergumul dalam pertempuran
dahsyat ini, mata kami pun bertatapan. Sisa-sisa amarah yang masing-masing kami
miliki pun seakan menguap entah kemana. Aku menyampaikan bahasa lewat mataku.
Sylvia pun demikian, ia kini tahu sastra, tapi lewat mata. Sylvia pun kembali
menciumku. Kedua tanganya mendekapku erat seolah tidak ingin terlepas. Kami
merasakan esensi menjadi saling membenci, saling bermusuhan, adalah untuk
menghargai perbedaan. Menyatukanya dalam cara yang misterius namun
menyenangkan.
“Aaaah...
Sylviaa...Sylvia Pratami...”
“oooh...
Jonii bangsaat... entot aku,,, perkosa aku...aahmmm”
Dan
Sylvia kini berani bicara porno. Sepertinya aku sudah membangunkan jiwa cabul
seorang Sylvia Pratami. Kugenjot balik tubuhnya dari bawah. Pergulatan kami pun
kian memanas. Peluh sudah benar-benar saling tertukar. Kedua tangan kami
bergerak aktif menjelajah masing-masing tubuh. Nafas yang menderu bagi Sylvia
adalah keindahan tersendiri bagiku. Begitu genjotan Sylvia makin cepat, aku
mengintenskan lumatanku. Sylvia pun mengencangkan pelukanya. Jleb jleb jleb
bles bles bles. Jiwa dan raga kami menyatu saling melengkapi. Sylvia menggila
dan mengeborkan tempiknya. Jleb Jleb Jleb Jleb JLEB JLEB JLEB JLEEEB....
CROOOOT!!!!
Bukan
pejuku, milik Sylvia lagi. Dimuncratknya berliter-liter peju dari tempiknya.
Aku pun merasakan hangatnya cairan itu menyelimuti kontolku. Aku merasakakan
kenikmatan meskipun belum muncrat. Sylvia yang orgasme tampak mengejan seperti
orang melahirkan. Akhwat berjilbab itu kini ambruk lemas menindih tubuhku
dengan nafas ngos-ngosan. Musuh jilbab sialan bernama Sylvia Pratami yang keras
kepala itu kini telah takluk dengan kontol masih menancap di tempiknya.
“Joniii...bangsaat...ahhhh...”
katanya lirih hingga kemudian pingsan.
Aku
semula menikmati pingsanya Sylvia dengan memeluknya dan mengelus jilbabnya.
Tapi setelah ku melirik jam tanganku, ini sudah lewat 5 menit dari jam
seharusnya rapat kembali di mulai! Beruntung mereka belum datang. Aku langsung
berusaha menurunkan tubuh musuh berjilbabku ini dan mendudukanya ke kursi di
sebelahku. Kemudian kupunguti celana dan cdnya yang berserakan di lantai.
Ketika ku dengar langkah kaki mendekat ke ruangan ini, panik!
Segera
saja kusembunyikan Sylvia di bawah mejaku. Meja ini tertutup bagian depanya,
dan muat untuk dua orang. Kutaruh celana dan Cd nya dia atas tubuh Sylvia. Jas
Almamaterku ku kubentangkan darimeja ke kursi di seblahku agar Sylvia tak
terlihat. Karena aku berada di pojok belakang, kupikir akan aman.
Kulihat
satuper satu mahasiswa memasuki ruangan. Aku menunggu dengan berdebar. Aku juga
tidak melihat Mbak Santi di sana. Pimpinan Sidang, Sonia Octarany pun sudah
menduduki posnya. Aku mulai lega ketika merka tidak fokus melihatku. Sonia pun
membuka sidang dan memberikan kesempatan mengutarakan pendapat sebelum diadakan
voting. Para anggota UKM Sastra tampak tenang-tenang saja kendati Sylvia tidak
bersama mereka. Salah satu dari mereka kembali melakukan pembelaan, tapi
terkesan lemah dan berharap belas kasih.
Aku
sudah hendak menulis votingku ketika tiba tiba ada yang memegang kontolku yang
memangbelum sempat kumasukkan. Kulihat ke bawah, Sylvia! Gila! Kini akhwat
berjilbab berkacamata itu memasukkan kontolku ke dalam mulut mungilnya. Sambil
menatapku manja ia terus mengulum dan menyepong kontolku seperti sepongan Mia
Khalifa...Uuuh... aku berusaha keras menahan desahanku. Aku mengambilh hape dan
merekam wajah cantik Sylvia Pratami yang sedang menyepong kontol besarku.
Sensasinya benar-benar mendebarkan. Dapat blowjob saat rapat adalah
pengalamanyang ekxtreme.
Semakin
cepat dan semakin licin permainan dan teknik sepongan hebat milik Sylvia. Aku
menggeram kutahan. Sylvia bahkan melakukan deepthroat. Semakin cepat semakin
cepat kepala berjilbab itu maju mundur mengulum kontol. Semakin keras
geramanku.
“Ada
lagi yang mau menyatakan pendapat?”
Sylvia
semakin menggila
“Adakah?”
Clep
clep clep clep....
“Ada
lagi?”
CROOOT.....CROOOT
CROOOOT
Tiga
kali semprotan deras muncrat ke dalam mulut Sylvia Pratami, musuh yang paling
kubenci. Sebagian meluber dari bibirnya, sebagian lagi memuncratiwajah dan
kacamatanya.
“Ahhhh...
Sa... Saya... saya pimpinan sidang!” seru ku agak terengah-engah....
“Silahkan,
saudara Joni...” ucap pimpinan sidang.
Aku
menoleh ke bawah. Ku lihat senyum seorang Sylvia Pratami. Senyum yang bukan
lagi sembunyi ataupun dusta.
0 Response to "Ukhti Jilboobs Kampus - Part 2"
Post a Comment